Senin, 08 Juni 2009

Ijuk Mampu Hidupi Keluarga


Petani ijuk atau lebih tepat disebut pemilik pohon aren di mana pun, saat bencana kekeringan, bolehlah tersenyum. Pohon aren dengan segala kondisi yang dimiliki, umur panjang dengan masa produksi puluhan tahun, merupakan jenis pohon yang tidak memiliki ketergantungan dengan banyaknya curah hujan.
CUKUP dengan kelembapan udara daerah dataran tinggi, pohon aren tetap bertahan hidup dengan tingkat kesuburan normal. Selebihnya, pohon aren memang tak membutuhkan perawatan. Sekali tumbuh, berarti investasi seumur hidup dengan hasil ganda, buah aren dan ijuknya.
Berangkat dari kondisi panen ijuk yang sepanjang tahun tak pernah mengalami gangguan itulah, pada akhirnya menciptakan sebentuk kreativitas untuk memanfaatkannya.
Ijuk, dengan kreativitas penggarapan tertentu, akan berubah menjadi sebentuk kerajinan berupa genting, sapu, sikat, dan sebagainya.
Desa pangirkiran semula dikenal sebagai sentra perajin ijuk. Perajin berkumpul untuk menjual hasil olah tangan mereka kepada konsumen. Belakangan, karena sesuatu dan lain hal, masing-masing perajin mencari lahan usaha secara sendiri, meskipun usaha di bidang ini tak pernah surut pelanggan.
Seperti diakui Sori hsb (50), warga pangirkiran, Kecamatan Aek godang,kab Palutai. Beberapa tahun lalu ia dan beberapa rekan perajin bekerja sama membuka usaha kerajinan membuat peralatan rumah tangga. Mulai pembuatan sampai pemasaran. "Semua kebagian tugas dan saya sendiri saat itu kebagian tugas sebagai pembuat keset dan sapu ijuk yang bahan baku utamanya berasal batang pohon aren ini," ujarnya.
Sayang, kerja sama itu tidak berlangsung lama karena setelah dua tahun usaha tesebut berjalan lancar, satu per satu perajin meninggalkan lokasi usaha dan beralih usaha secara sendiri di tempat yang berbeda. "Yang tertinggal hanya teman-teman perajin rotan," kata Sori Hsb.
Terpusat pada usaha bidang kerajinan ijuk, Sori mengatakan kendati kerajinan yang dihasilkan relatif sedikit, secara umum jumlah permintaan pasar cukup banyak. "Sapu ijuk buatan saya selalu ludes!" kata Sori.
Omzet usaha sapu ijuk perajin yang satu ini terbilang kecil, tetapi umumnya perajin bisa menikmati keuntungan setiap hari karena peralatan rumah tangga ini tidak pernah surut dari konsumennya.
Terbukti setiap rumah tangga butuh sapu, sikat, dan keset. Demikian halnya dengan sekolah,perkantoran, hingga rumah-rumah ibadah.
"Jadi, walaupun untungnya kecil, asal lancar, tidak jadi masalah buat saya," kata Sori.
Peluang Kerja
Dari besarnya permintaan pasar, berkelimpahnya bahan baku, peluang pasar kerja pun praktis makin banyak.
Tak bedanya dengan Sori. Karena faktor usia, ia kini dibantu dua anak-anaknya yang tamat sekolah menengah. Hal itu dilakukan antara lain demi menjaga kelangsungan usaha dan permintaan konsumen.
Setidaknya perputaran barang yang biasa dititipkan di toko-toko berjalan lancar karena cepat laku. Menyusul titipan berikutnya.
Selain itu, Sori menjual sendiri kerajinan tangan dengan berkeliling menggunakan sepeda. Setiap sapu ijuk ditawarkan dengan harga Rp3.000--Rp7.000 per buah.
Berapa pula penghasilan Sori per hari? "Tidak kurang dari Rp50.000 seharinya," ujarnya.
Sesuai dengan usianya juga, untuk pembuatan gagang sapu, dia menyerahkan sepenuhnya pada dua putranya. "Saya sudah tidak kuat mengerjakannya karena membuat gagang sapu ijuk dilakukan mulai memotong pohon sepanjang 1 meter--1,5 meter kemudian memampasnya dengan golok. Itulah yang ia rasakan sulit. Meskipun dia mengakui masih mampu menyediakan 20-an buah sapu ijuk dalam sehari.
Sori mengaku kesulitan dalam hal bahan baku, khususnya ijuk. Bahkan untuk memperolehnya, dia tidak ragu-ragu "mengejar" hingga wilayah Sipirok (Angkola timur) untuk sekadar mendapatkan bahan bakunya.
Tapi apakah di Sipirok ijuk tersebut tersedia cukup banyak? Ternyata tidak selamanya mencukupi, Sori mengatakan terkadang jumlahnya mencukupi, tetapi tidak jarang hingga tidak kebagian karena kalah cepat denga perajin lainnya.
Ditanya kendala dalam pemasaran, pertama maraknya perdagangan barang yang sama dengan bahan baku di luar ijuk. Sehingga menimbulkan persaingan yang begitu tajam.
"Tapi kalau mau dibandingkan dengan sapu yang bagus memang sapu ijuk buatan saya kalah bagus, tapi saya siap menjamin kalau sapu buatan saya lebih kuat dan tahan lama. Yang pasti harganya jauh lebih murah dibandingkan sapu yang bagus, tapi kualitasnya jelek," kata dia.
Dari usaha ini, Sori mengaku bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Bahkan dari pekerjaannya itu ia bisa menyekolahkan kedua anaknya hingga tamat SMA.
"Ya...saya bersyukur bisa menyelesaikan sekolah anak-anak dari keringat saya membuat peralatan rumah ini. Kalau tidak dari sini, mau kerja apalagi saya, apalagi umur makin tua," ujarnya.
Kendala berikut, usaha kerajinan ijuk sejauh ini berharap ada tambahan modal agar usaha tersebut tetap exist. Terlebih pascakenaikan harga BBM ini, sejumlah harga kebutuhan ikut naik sementara hasil kerajinannya sama sekali belum dinaikkan.
"Bagaimana mau dinaikkan, sudah dikasih harga murah saja masih ditawar pembeli. Maka itu saya sangat membutuhkan modal tambahan agar usaha saya bisa tetap bertahan.wajah senyum berharap agar pemerintah lebih memperhatikan para pengrajin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar